Cita-citaku, Perjuanganku, dan FKUI
Dulu kalau
ditanya orang mau jadi apa, saya hanya bisa menjawab, “Duh, nggak tau nih.”
Ayah saya selalu menyarankan saya agar mendalami IT agar sesuai dengan
pekerjaannya sebagai programmer. Saya sih hanya iya-iya saja agar ortu saya
puas, tapi aslinya saya tidak memiliki passion untuk cita-cita apapun. Nah
suatu hari saya diberi tugas untuk me-review acara TV. Saya ingat episode acara
yang saya tonton adalah tentang seorang “dokter gila”. Wah siapa nih dokter
gila? Nah setelah menonton sejenak, ternyata sebutan itu adalah julukan bagi
seorang dokter bernama Lie Dharmawan. Jadi beliau ini pada masa kecilnya hidup
sangat melarat, namun dengan doa dan tekadnya yang teguh beliau dapat menuntut
ilmu kedokteran di Jerman sampai mempunyai spesialis dalam dua bidang, yaitu
bedah (Sp.B) dan bedah thoraks kardiovaskular (Sp.BKTV).
Beliau
mempunyai sebuah rumah sakit apung, yaitu rumah sakit yang berbentuk seperti
kapal. Rumah sakit apung ini beliau bawa ke tempat-tempat miskin dan terpencil
di Indonesia untuk mengobati orang sakit tanpa biaya apa pun. Hal inilah yang
membuatnya mendapat sebutan “dokter gila”. Salah satu kutipan beliau yang masih
saya ingat sampai sekarang adalah “Jika kamu menjadi dokter, jangan memeras
orang kecil. Mereka akan membayar kamu berapapun, tetapi ketika sampai di rumah
mereka akan menangis karena tidak punya uang untuk beli beras.” Kata-kata
beliau benar-benar membuat saya tertegun dan menangis. Beliau adalah seorang
sosok yang sangat inspiratif bagi saya. Pasalnya, pada saat itu saya ingin
menjadi seseorang yang kaya raya dan sukses dalam hal finansial, tapi saya
tidak pernah memikirkan orang kecil yang tidak punya cukup uang untuk berobat.
Jiwa saya tersentuh sejak saat itu. Saya bertekad untuk menjadi seorang dokter
handal yang bisa membantu orang banyak.
Saya sempat
melakukan research yang cukup lama tentang fakultas kedokteran dan
universitas-universitas yang ada fakultas kedokterannya. Semua orang yang saya
kenal mulai dari orang tua, guru-guru, sampai teman-teman saya berkata bahwa FK
yang paling bagus di Indonesia adalah di UI. Kesan pertama saya terhadap UI
adalah gedungnya keren-keren, terutama gedung rektorat yang ikonik dan
perpustakaan pusat UI. Kedua hal tersebut memantapkan tekad saya untuk memilih
FKUI sebagai universitas tujuan saya yang utama. Mulai sejak itu, ketika saya
ditanya mau kuliah di mana, saya dapat berkata dengan mantap, “FKUI”. Setiap
ada career day di sekolah saya, saya selalu mendatangi booth UI dan menanyakan
biaya masuk, jalur masuk, dll. Tekad saya sudah bulat, pokoknya mau FK di UI!
Masa-masa kelas 12, saya mendaftar SNMPTN dengan pilihan FK UI dan FK UGM,
namun saya tidak terlalu berharap banyak dan mengandalkan jalur masuk tersebut.
Pasalnya, nilai raport saya dari semester 1 s/d 5 tidak terus menerus naik
melainkan naik turun secara fluktual. Walaupun begitu, saya tetap mencobanya
meski ujung-ujungnya saya tidak lolos.
Saya juga
mendaftar les intensif SBMPTN seperti banyak teman satu sekolah saya. Awalnya,
saya kira tingkat kesusahan soal SBM tidak jauh dibandingkan soal UN. Ternyata
saya malah salah besar. Setiap menghadapi soal-soal TO SBMPTN saya hanya bisa
bengong, mengeluh susah kepada teman, dan berpikiran pesimis. Saya pun dipaksa
menghadapi realitas yang ada. Masuk UI itu susah, masuk FKUI apalagi. Passing
grade-nya termasuk salah satu yang paling tinggi di list passing grade yang
ada. Bayangkan, passing grade TO pertama saya hanya 40, sedangkan passing grade
FKUI adalah 62 sekian. Hal ini sempat membuat saya patah semangat, namun saya
berpegang teguh akan mempertahankan impian saya. Saya mengumpulkan banyak
sekali kata-kata penyemangat dan menuliskannya di mana-mana seperti di binder
saya, di HP saya, di dinding kamar saya, dan tempat tempat lainnya yang sering
saya lihat. Saya sadar bahwa tidak akan ada orang yang akan terus menerus
menyemangati saya. Oleh karena itu, sayalah yang harus menjadi penyemangat bagi
diri saya sendiri.
Selain itu,
proses pembelajaran SBMPTN saya juga tidak kalah sulit. Saya bukanlah tipe
orang yang benar-benar pintar, apalagi ‘lawan-lawan’ saya di jalur tulis adalah
orang-orang yang jenius dan sudah sering ikut perlombaan. Rasanya diri saya
hanya seonggok debu dibandingkan mereka-mereka yang passing grade-nya menjulang
tinggi. Namun, saya pernah membaca di suatu tempat kalau orang pintar
seringkali kalah dengan orang rajin. Jadi saya bertekad untuk menebus
kekurangan saya tersebut dengan rajin-rajin berlatih soal. Saya melarang diri
saya untuk melakukan hal-hal yang tidak penting seperti bermain game dan
chatting, menggantinya dengan belajar dan mengerjakan soal latihan. Saya membuat checklist pelajaran yang harus
saya kuasai dan deadline-nya. Hampir setiap malam saya tidur larut demi
menyelesaikan deadline yang saya buat untuk diri sendiri. Soal-soal di buku
latihan saya kerjakan terus sampai saya bisa. Passing grade saya perlahan
meninggi, meningkat 2 point setiap kali tryout. Saya juga rajin-rajin mengikuti
tryout yang diadakan lembaga-lembaga swasta. Saya juga ingat, pernah dalam 2
hari (sabtu-minggu) ada 4 tryout, paginya tryout di tempat X, malamnya tryout
online, besoknya juga demikian.
Saya
benar-benar mempersiapkan hari SBMPTN dengan baik, seperti tidur cepat semalam
sebelumnya, berdoa meminta pertolongan kepada Tuhan, serta memantau lokasi
ujian saya sehari sebelumnya agar tidak tersesat saat hari-Hnya. Walaupun
demikian, saya merasa belum siap sama sekali untuk menghadapi medan perang
SBMPTN. Banyak materi yang belum saya kuasai. Misalnya, pelajaran fisika yang
saja kuasai hanyalah segelintir kecil. Bukannya saya tidak mau, namun saya
tidak sempat mempelajarinya. Saya benar-benar merasa tidak percaya diri, namun
puji Tuhan semua orang terus menerus menyemangati saya. Alhasil, saya merasa
cukup tenang saat mengerjakan soal-soal SBMPTN. Biologi dan kimia dapat saya kerjakan
dengan baik, namun soal-soal fisika dan matematika IPA sukses membuat saya
kebingungan. Memang saya tidak terlalu kuat di kedua pelajaran tersebut. Karena
soal-soal SAINTEK yang lebih susah dari ekspektasi saya, saya pun bertekad
untuk mengerjakan soal-soal TKPA dengan lebih gigih. Saking gigihnya, saya
bahkan lupa apakah saya bisa mengerjakannya atau tidak. Ketika ditanya bisa
atau tidak saat di rumah, saya hanya menjawab, “Ya, lumayan.” Hanya lumayan.
Saya juga
mengikuti beberapa ujian mandiri di beberapa universitas lainnya. Setelah itu
saya diberikan waktu sebulan untuk menunggu hasil ujian-ujian tersebut.
Masa-masa penantian ini sangatlah tidak produktif bagi saya. Kebanyakan harinya
hanya diisi dengan main HP, main laptop, tidur yang lama sebagai balas dendam
karena tidak sempat tidur saat masa-masa belajar, serta banyak berpikir. Pada
masa lengang tersebut, pikiran saya membawa saya ke mana mana. Akankah saya
diterima di UI ataukah universitas X? Apakah saya sudah mengerjakan soal-soal
dengan cukup baik? Akankah saya ditolak dan harus menganggur setahun? Semakin
hari, saya semakin merasa pesimis. Saya sempat mengikuti quickcount tryout dari
salah satu bimbel, hasilnya saya tidak lolos FKUI. Saya merasa bahwa UI yang
sempat saya juluki ‘Universitas Impian’ semakin terasa seperti impian. Semakin
jauh dari gapaian saya. Satu hari, rasa stres saya memuncak dan saya sampai
tidak mau makan. Banyak pikiran tentang ini itu, mata saya pernah berair
memikirkan nasib saya yang tidak jelas. Untungnya, hal tersebut dapat berkurang
ketika saya lebih mendekatkan diri saya kepada Tuhan. Ibu, ayah, guru les, dan
teman-teman saya semuanya juga membantu saya agar tidak patah semangat dan
terus menyimpan rasa optimis di hati saya. Saya melupakan pengumuman SBMPTN dan
berfokus kepada hal-hal lain yang lebih produktif seperti berolahraga.
Saat hari
pengumuman—saya ingat hasil pengumumannya dirilis jam dua siang—saya sengaja
bangun tepat jam dua siang agar tidak perlu deg-degan menunggu countdown
SBMPTN. Saya berinisiatif membuka keduabelas website mirror SBMPTN, agar chance
mendapat website yang tidak crash lebih besar, dan… yey! Cara saya tersebut
ternyata sukses karena salah satu dari keduabelas website yang saya buka tidak
crash. Dengan jemari yang mulai bergetar karena tegang, saya mengetik nomor
peserta dan PIN, lalu menunggu loading lagi. Tanpa saya duga, muncullah sebuah
kotak biru dan sebuah barcode. Saya sudah sering kali membayangkan situasi
ketika saya lolos SBMPTN. Di semua angan-angan saya, saya selalu membayangkan
diri saya berteriak kaget dan terkejut, namun pada saat itu yang saya lakukan
hanya satu—bengong. Pendidikan dokter, Universitas Indonesia, empat deret kata
yang selama itu hanya menjadi sebatas impian, kini tertera tepat di depan mata
saya.
“Apakah ini mimpi?” pikir saya. Saya
refresh websitenya berkali kali, mencoba meng-input data saya kembali, tetap 4
kata itu tidak kunjung berubah. Pendidikan dokter, Universitas Indonesia. Saya
beranjak dan langsung berlari memeluk ayah saya, berkata bahwa saya diterima di
FKUI. Ayah saya sangat terkejut. Beliau balas memeluk saya dan menangis
bahagia. Ibu saya yang tengah di kantor mengirim pesan dari media sosial kalau
beliau bangga dengan saya. Hal yang uniknya, pagi hari itu saya bermimpi tidak
lolos SBMPTN sama sekali, sehingga ekspektasi saya sudah sangat rendah, namun
ternyata Tuhan memberi saya kesempatan untuk berkuliah di FKUI. Saya
benar-benar merasa di awang-awang. Tiba-tiba terbayang kembali flashback jerih
payah saya mengerjakan soal-soal sampai larut malam dan lain-lainnya. Sungguh
saya merasa sangat bersyukur.
Sebagai
penutup, ada satu kata mutiara yang sangat saya suka dan menjadi motto hidup
saya, yaitu “Hasil tidak akan pernah mengkhianati usaha.” Teruslah berusaha dan
lakukan yang terbaik, maka hasil perjuanganmu itu tidak akan pernah jauh
jatuhnya dari usahamu. Bagi adik-adik kelas 12, selamat berjuang!! KUTUNGGU KALIAN DI KAMPUS PERJUANGAN!
[Jonathan Hartanto, FK UI 2017]
Terima Kasih sudah membaca semoga bermanfaat. Jika kamu ada pertanyaan bisa comment dibawah dan Share Post ini karena siapa tau diluar sana masih ada yang belum mengetahuinya. Oke, Dari Saya Mohon Maaf Lahir dan Batin dan Sampai Jumpa. Bye :)
0 komentar